Happy Father's Day, Ayah!
Hari ini
adalah hari minggu ketiga di bulan Juni, yang dijadikan Father’s Day di
beberapa negara di dunia, termasuk Malaysia. Saya selalu ngakak sekaligus iba
setiap Ayah saya mengeluh di Hari Ibu, “Di Indonesia enggak ada Hari Ayah,
adanya Hari Ibu terus. Enggak adil.” Hahahaha.
Karena saya
lagi di Malaysia, tapi Ayah saya lagi di Indonesia ya enggak apa-apalah ya.
Saya bikin tulisan tentang Ayah dalam rangka Father’s Day. Not that I’m celebrating it, just to remember what my Ayah means to me.
Dari dulu
saya sering dibilang Daddy’s little girl. Selain karena wajah saya yang mirip
minta ampun sama Ayah, saya selalu ngekor kemana pun Ayah saya pergi. Bukan
apa-apa, kalau pergi sama Mama saya diragukan sebagai anak kandung, karena Mama
saya berkulit putih sedangkan saya kebalikannya. Menyampah betul kalau ingat
masa lalu yang kelam! -_-“
Kini karena
saya sudah bukan anak kecil lagi (jiyaaah sok dewasa), saya juga masih merasa
sebagai anak kecil si Ayah. Kalau saya pulang pasti saya pergi kemana-kemana
diantar Ayah. Nah kalau ini alasannya karena beliau tidak memberi saya
kepercayaan untuk saya menyetir sendirian. Emang sih, kemampuan menyetir saya
jauh sekali kalau dibanding abang dan kakak saya. Kalau ada pertandingan siapa
paling sering bikin mobil lecet, tentu saya pemenangnya. *tidak ada rasa bangga
sama sekali ketika menulis ini*
Ini kenapa
jadi bicarain saya ya?!
Oke baiklah,
mari kita kembali kepada topik yang seharusnya dibicarakan.
Ayah saya
akan berusia 60 tahun September tahun ini. Wah kasihan Ayah, di usianya yang hampir
60 tahun, anaknya belum ada yang menikah, bahkan dua anak perempuannya jomblo.
Sedangkan teman-temannya banyak yang sudah bercucu. Ini juga mendatangkan
masalah kepada saya. Setiap saya jalan sama Ayah, saya sering dikira cucunya.
Super Zzzzzzz………..!
Ya mari
doakan semoga ketiga anak beliau enteng jodoh. Amiin.
Sebenarnya
susah sekali menyusun kata-kata untuk bercerita tentang Ayah. Mungkin
singkatnya, saya selalu mengidolakan Ayah dalam banyak hal. Ayah buat saya
seperti ensiklopedi berjalan. Saya banyak bertanya pada Ayah saya, tentang
politik, isu-isu terkini sampai soal musik.
Saya juga
sering bertanya tentang kehidupan. Hihi gaya betul. Saya suka mendengar
cerita-cerita Ayah, apalagi kalau mengenai kebodohannya di masa muda bersama
teman-temannya. Kadang saya sering berpikir, “Aku sudah tahu dari mana segala keanehan
ini berasal. It’s a matter of genes”.
Kadang
kalau di rumah saya malas nonton televisi karena tenang saja, saya selalu bisa
update informasi dari Ayah. Tapi saya jadi sering kena marah sama beliau, “kamu
ini anak komunikasi kok gak update berita!” Yah, gimana ya Yah, semakin
mendalami ilmu komunikasi, jadi imun sama berita-berita di media. #alibi
Saya juga
salut dengan daya ingat Ayah saya di usianya yang sudah hampir senja. Beliau
banyak ingat teman-teman saya, abang dan kakak. Mungkin waktu dulu kami
bercerita pada beliau, beliau benar-benar mendengarkannya. Kadang Ayah sering
bertanya, “Dek, temen adek si Anu, mana sekarang?” , “Temen kakak? Abang?”.
Yaampun Yah, kami aja udah lupa dia ada di mana, malah Ayah pulak yang ingat.
Ada satu
kejadian yang saya ingat sampai sekarang. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA. Ayah
masih bekerja di luar kota sedangkan saya dan saudara-saudara saya tinggal
sendirian di kota Medan. Suatu hari, di sekolah ada acara Isra’ Mi’raj. Tapi
saya enggak datang. Ayah bertanya melalui telepon.
“Kenapa gak
ke sekolah?”
“Iya yah temen-temen
rame yang gak pergi.”
Saya kira
tak masalah dengan saya tak pergi acara
tersebut. Rupanya waktu Ayah sampai di rumah malam harinya, beliau tidak
seramah biasanya kepada saya. Saya jadi kesal. Kenapa sih? Perasaan gak ada
salah apa-apa. Karena saya anaknya suka penasaran (sekaligus gak sabaran), saya
tanya sama Ayah.
“Kenapa sih
Yah? Kok sombong kali sama Nanda?”
“Kamu
kenapa gak datang Isra’ Mi’raj?”
“Emangnya
kenapa? Kan gak wajib datang juga Yah.”
“Ayah gak
marah kamu gak datang, tapi Ayah gak suka alasan kamu gak datang. Kalau memang
gak mau pergi yasudah tapi jangan karena teman-teman malah jadi gak pergi.”
“Iya…”
“Ayah gak
suka anak ayah cuma ikut-ikutan. Kalau melakukan sesuatu itu karena diri
sendiri, bukan karena orang.”
Kira-kira begitu
percakapan singkat kami waktu itu. Saya terdiam lalu menghilang dari pandangan beliau. Wuuuzzz…
Sebenarnya sudah biasa sih direpetin Ayah, cuma entah kenapa saya selalu ingat kata-kata beliau waktu itu.
Kalau melakukan sesuatu itu jangan karena orang lain. Sampai sekarang saya
selalu berusaha untuk memberi alasan setiap apa yang saya lakukan. Memastikan
kalau hal ini memang benar-benar kemauan saya, bukan kehendak orang lain.
Hmmmm….sebenarnya
masih banyak petuah dari Ayah yang saya dapat pas lagi sesi ngobrol sambil
makan pop mie tengah malam (tentu saja ketika Mama sudah tidur, kalau tidak pop
mie bisa disabotage).
Saya gak
bisa kasi apa-apa buat Ayah di Father’s Day ini. Saya cuma berdoa semoga Ayah
sehat selalu, panjang umur, tidak bandel dan tetap bertahan dengan kecerewetan
anak-anaknya, terutama anaknya yang nomor tiga. Semoga Ayah terus bisa melakukan
kegiatannya seperti sekarang, terus membaca, terus berkebun, terus bermain musik,
terus bernyanyi dan tentu saja terus beribadah.
Happy Father’s Day, Ayah! You are not the best
father in this world but as your daughter, I can say that you’re the
inspiration. See you at home in Ramadhan! Insya Allah. J
Bersama Ayah, waktu saya masih imut-imut dan gak ngeselin.:D |
Comments