Balada Kappa
Tiba-tiba malam ini saya teringat Kappa, kucing abang saya yang
sekarang tidak diketahui keberadaanya. Sudah lama saya ingin mengabadikan Kappa
dalam sebuah cerita tapi gak sempat (baca: malas). Nah, karena lagi ada mood
buat menulis, jadi apa salahnya bercerita tentang seekor kucing yang lumayan
signifikan dalam kehidupan ailurophobia saya.
I think
the world knows that I hate cats so much. Ya gak sedunia juga sih, Ndok. Emang
kau siapa? Ya, pokoknya gitu lah, keluarga serta teman-teman sudah tahu betul kalau
saya tidak suka sama binatang karnivora satu itu. Sudah beberapa kali juga saya
posting dalam blog. Kalau mau tau sejarahnya, bisa dibaca di posting blog saya beberapa tahun lalu.
Dalam kebencian saya pada kucing...pada suatu hari...saya lupa
tepatnya tahun berapa. Yang jelas saya masih kuliah waktu itu. Eh, sekarang
juga masih kuliah ya. Oke, waktu itu saya masih usia belasan, mungkin 18 atau
19 tahun.
Nah pada hari itu saya sedang pulang kampung dan mendapati abang
saya sedang bermesraan dengan seekor kucing. Aduh, kalimat apa itu?! Jadi lain
artinya. Maksudnya, abang saya sedang bermain-main sama seekor kucing.
Kucingnya dielus-elus dan mereka sangat akrab. Tentu saja saya berang! Apa-apaan
ada kucing di rumah ini???!!
"Abang...itu kucing siapa?"
"Ini kucingku si Kappa namanya."
"APAAAAAAH???!!!"
Sejak itu kehidupan saya dalam rumah mulai terancam. Kalau pintu
terbuka sedikit saja maka saya akan berjumpa dengan kucing kurus berbulu
abu-abu itu. Kalau kami sedang makan di teras belakang, maka si Kappa akan
berjalan di kolong meja. Tentu saja saya akan mengangkat kedua kaki saya ke
kursi supaya tidak bersentuhan dengan bulunya. Kalau tersentuh saya akan teriak,
masuk ke dalam rumah lalu mencuci kaki saya bersih-bersih. Ya, sebenci itulah
saya pada kucing. Kena dikit, samak!!!!
Kembali pada Kappa si kucing fenomenal. Kata Abang saya Kappa
adalah siluman air dalam komik kesukaannya. Saya pernah iseng googling soal
Kappa. Rupanya Kappa itu salah satu mahluk aneh dalam mitologi Jepang. Katanya
wujudnya tak ada hubungannya sama sekali dengan kucing, malah campuran bebek,
katak dan monyet. Aduh, jadi seram. Whatever.
Intinya sih, sampai sekarang saya masih heran kenapa abang saya
dengan baik hati ‘memelihara’ si Kappa. Namun sejak abang saya pindah ke luar
kota, keberadaan Kappa tersingkirkan. Tak ada lagi kasih sayang... Jangankan
dielus-elus, dikasi makan saja sudah untung.
Kalau kami makan siang atau malam, si Kappa akan mengeluarkan
suaranya, “meoong...meooong...”
Ih! Lalu saya akan segera membanting pintu
tepat di depan wajahnya. Tapi saya tajut-takut juga sih. Dalam bayangan saya
kepalanya terjepit lalu putus. Yaampun, kalau itu terjadi, bisa-bisa saya akan
trauma seumur hidup.
Tapi Kappa ini jenis kucing yang tak pantang menyerah. Setiap hari
dia datang. Kakak dan Ayah saya dengan baik hati memberi sisa makanan,
melemparnya ke dekat tong sampah di halaman. Lalu dimakan oleh Kappa. Saya
selalu berkomentar,
“Itu lah ayah ini dikasinya makanan, jadinya terus datang dia,”
kata saya sambil merengut.
“Kan gak apa-apa asal dia gak boker di sekitar rumah kita aja,”
jawab Ayah dengan santainya.
Baiklah, alasan diterima.
Yang bikin Kappa ini fenomenal adalah kedodolannya sebagai seekor
kucing. Kakak saya menyebutnya kucing ‘border line’. Alasannya karena Kappa
sangat bodoh.
Dimana-mana ya, kucing kalau digertak pasti akan kaget lalu lari.
Kappa tidak. Dia diam saja. Kalau dikasi makanan, dia tak langsung pergi ke
makanan tersebut. Dia tampak kebingungan mencari dimana letak makanan itu.
Padahal di sekitar dia aja lho! Paok kali lah pokoknya.
Kami sempat mengira Kappa ini rabun senja. Tapi kalau siang dia
juga tidak menunjukkan tanda-tanda kecekatan dan kecerdasan. Maka kami menyimpulkan
bahwa Kappa ini memang kucing bodoh.
Sebagai yang punya rumah, kami agak dodol juga sih. Kami sempat
bingung sebenarnya Kappa ini jantan atau betina. Kami pernah berspekulasi kalau
dia itu betina. Karena pada suatu hari Kappa sangat lemas. Dia macam bad mood
gitu. Kami sangka dia hamil. Tapi hari berikutnya dia kembali seperti semula.
Tetap bodoh.
Pernah juga kami kira dia jantan. Karena waktu itu dia membawa
seekor kucing kampung entah dari mana dan
si Kappa ini semacam caper gitu.
Hal fenomenal lain yang si Kappa lakukan adalah dia dengan kurang
ajarnya membawa temannya. Seekor kucing hitam berbulu sangat lebat, macam
kucing anggora. Ayah saya memberinya nama ‘Anggodo’, singkatan dari Anggora
Domestik. Kebetulan, waktu Anggodo muncul, sedang santer berita mengenai
Anggodo Widjojo dalam kasus Cicak dan Buaya yang melibatkan KPK tahun 2009
lalu.
Mereka berteman akrab. Tak lama kemudian, muncul lagi kucing hitam
lain. Diberi nama oleh Ayah saya juga: Tambi. Yaampun gak ada kerjaan betul si
Ayah ngasi nama buat kucing-kucing kampung yang singgah di rumah. Kata Ayah,
Tambi itu nama orang India yang kulitnya sangat hitam. Entahlah. -_-
Tahun berganti. Ketiga kucing itu makin sering hang out di sekitar rumah kami. Tapi
Anggodo menunjukkan tanda-tanda penuaan. Bulunya rontok dan dia jadi jelek. Ayah
berspekulasi dia termakan ikan asin. Kami sempat mau menjualnya tapi malu
karena dia sangat jelek, mana ada yang mau beli?!
Tanpa kami sadari, Kappa membawa perubahan besar dalam kehidupan
dalam rumah. Kami jadi hobi menyisakan makanan. Kalau ada makanan yang tak
habis maka kalimat ini akan keluar “kasi buat Kappa aja”.
Saya juga kini tak berteriak terlalu histeris jika ada kucing.
Walau Kappa belakangan mulai kurang ajar, dia sudah berani masuk ke rumah, tapi
sebatas kolong meja makan saja. Saya tetap takut dan tak suka kucing tapi saya
sekarang sudah bisa mengontrol kapan saya akan teriak atau melarikan diri dari
TKP. Mungkin Kappa ini sebagai alat terapi ketakutan saya juga.
Kalau dipikir-pikir, pengaruh Kappa dan teman-temannya cukup
besar. Dan tak terasa sudah tiga tahun lebih juga mereka jadi bagian dari rumah
saya.
Suatu hari Kappa hilang. Dia tak datang ke rumah lagi. Tapi
Anggodo dan Tambi tetap datang. Kami mengira dia telah mati. Eh, bukan kami ding,
saya aja. Dalam hati saya senang. Mati sajalah kau, Kappa. Hahahhahaa. Tapi
rupanya dia kembali lagi. Tanpa perubahan. Dia tetap bodoh. Sial.
Kehidupan berjalan seperti biasa. Tiga serangkai itu datang tiap
kami makan siang atau makan malam. Malah, kadang Subuh pun sudah ada. Gila,
kucing-kucing yang sehat, hobinya sarapan.
Terakhir saya kembali ke Malaysia beberapa bulan lalu, Ayah dan
kakak mengabarkan kalau Kappa sudah tak muncul beberapa hari. Hari berganti
minggu dan minggu berganti bulan. Tampaknya Kappa memang hilang untuk selamanya.
Mungkin dia hilang. Mungkin juga dia sudah menemukan tuan rumah
yang lain yang lebih menyanyanginya. Bukan tuan rumah yang hobi mengusirnya dan mengejeknya
sebagai kucing border line.
Atau mungkin saja Kappa telah kembali ke dunia per-kucing-an di
atas sana. Walau katanya kucing punya sembilan nyawa, saya berharap Kappa tak akan
pernah kembali lagi, dalam wujud apapun.
Semoga kau tenang di alam sana, Kappa. Terimakasih telah menemani
dan merusuhi kehidupan keluarga kami selama ini. Kini kami bisa makan dengan
pintu terbuka tanpa was-was akan ada kucing. Karena kabar terakhir yang saya
terima dari rumah, Anggodo dan Tambi pun sudah tak tampak lagi.
Sekian dan terimakasih.
Comments